Bagi warga Bandung ataupun wisatawan yang sedang berkunjung ke kota Bandung tentunya mengenal bangunan yang satu ini. Gedung sate Bandung memiliki sejarah yang panjang sampai masa sekarang. Gedung ini berdiri kokoh dari jaman kolonial Belanda.
Dahulu, Gedung Sate dirancang oleh arsitek Belanda Ir. J. Gerber dari Jawatan Gedung-gedung Negara (landsgebouwendients), dibantu oleh sebuah tim yang terdiri dari: Kol. Genie (Purn.) V.L. Slor dari Genie Militair, Ir. E.H. De Roo dan Ir. G. Hendriks yang mewakili Burgerlijke Openbare Werken (B.O.W) atau DPU sekarang dan Gemeentelijk Bouwbedriff (Perusahaan bangunan Kotapraja) Bandung. Peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Nona Johanna Catherina Coops, putri sulung Walikota Bandung B. Coops yang didampingi Nona Petronella Roeslofsen yang mewakili Gubernur Jenderal di Batavia pada tanggal 27 Juli 1920.
Bangunan yang selesai dibangun pada 1942 ini dinamakan Gedung Sate karena sebuah ornamen yang terlihat seperti tusuk sate di puncak menara utamanya. Mengadopsi gaya arsitektur era Renaissance Italia, Gedung Sate dinilai memiliki rancangan yang beda dari yang lain pada zamannya. Misalnya saja, pada bagian tengah terdapat menara bertingkat yang mirip dengan atap meru atau pagoda yang jarang dijumpai pada bangunan lain ketika itu. Seperti gedung-gedung lain yang dibangun pada masa itu, Gedung Sate juga memiliki sifat-sifat simetris, dimana sayap kiri dan sayap kanan Gedung Sate sama persis. Ornamen-ornamen yang menghiasi gedung ini juga sangat berciri era Renaissance Italia yang terlihat pada lengkung-lengkungnya yang teratur dan berulang-ulang, jendela-jendela berukuran besar, serta atapnya yang menjulang tinggi.
Bangunan yang selesai dibangun pada 1942 ini dinamakan Gedung Sate karena sebuah ornamen yang terlihat seperti tusuk sate di puncak menara utamanya. Mengadopsi gaya arsitektur era Renaissance Italia, Gedung Sate dinilai memiliki rancangan yang beda dari yang lain pada zamannya. Misalnya saja, pada bagian tengah terdapat menara bertingkat yang mirip dengan atap meru atau pagoda yang jarang dijumpai pada bangunan lain ketika itu. Seperti gedung-gedung lain yang dibangun pada masa itu, Gedung Sate juga memiliki sifat-sifat simetris, dimana sayap kiri dan sayap kanan Gedung Sate sama persis. Ornamen-ornamen yang menghiasi gedung ini juga sangat berciri era Renaissance Italia yang terlihat pada lengkung-lengkungnya yang teratur dan berulang-ulang, jendela-jendela berukuran besar, serta atapnya yang menjulang tinggi.
Memasuki Gedung Sate dari pintu utamanya, anda akan disambut oleh seperangkat alat musik gamelan Sunda yang tertata apik di depan ruangan yang biasa digunakan untuk menerima tamu kenegaraan. Sayap kanan dan kiri Gedung Sate yang sama persis dibiarkan kosong, hanya pada saat acara tertentu saja, arena tersebut digunakan. Di lantai dua, terdapat ruang kantor Gubernur Jawa Barat beserta wakilnya dan juga ruang sekretaris pribadi gubernur.
Gedung yang sehari-harinya digunakan sebagai kantor pemerintahan ini lebih terlihat seperti museum daripada kantor. Di beberapa dindingnya, terpajang lukisan-lukisan kuno, seperti lukisan Gedung Sate zaman dulu, lukisan Sultan Agung Tirtayasa, dan lainnya. Di lantai tiga, ada sebuah museum mini yang berisikan benda-benda tua yang dulunya terpajang di Gedung Sate, juga ada foto-foto para pejabat tinggi zaman dulu dan foto para pendiri Gedung Sate. Suasana dalam museum tersebut cukup lembab dengan cahaya yang temaram karena jarang dikunjungi. Museum ini biasanya hanya diperuntukkan bagi tamu-tamu kenegaraan.
Naik ke tingkat selanjutnya, kita diajak untuk melihat pemandangan kota Bandung dari teras terbuka di lantai empat. Dari sini kita bisa melihat hamparan kota Bandung dan segala bangunan yang berdiri di sekeliling Gedung Sate, termasuk Monumen Perjuangan yang tepat berdiri di seberang lapangan Gasibu depan Gedung Sate. Dahulu, ketika pemerintahan berada di tangan Belanda, semua bangunan tinggi di Kota Bandung tidak diizinkan melebihi tinggi menara Gedung Sate.
Di puncak menara Gedung Sate, terdapat sebuah ruangan kaca yang biasa digunakan untuk menjamu tamu kenegaraan. Berada di ruangan ini, mata kita juga dimanjakan dengan pemandangan kota Bandung. Di dalamnya, selain terdapat kursi-kursi, juga terdapat bel tua yang dulunya diletakkan di halaman Gedung Sate. Dulu, saat akan terjadi perang, maka bel ini akan dibunyikan untuk memberi tanda bagi warga di penjuru kota. Tetapi, sekarang bel tersebut hanya dibunyikan setiap tanggal 10 November untuk memperingati hari pahlawan.