Dreams are renewable. No matter what our age or condition, there are still untapped possibilities within us and new beauty waiting to be born.

-Dale Turner-

Pengetahuan geografi generasi Indonesia


Lepasnya Sipadan – Ligitan, nyaris dicaploknya Ambalat oleh negeri tetangga dan maraknya kekayaan alam negeri yang dieksploitasi oleh negara asing bisa jadi karena kita tidak memahami dan mengetahui negeri ini.

Saya pernah memberi pelatihan diskusi mengenai tanggap bencana subtopik “pemetaan mitigasi bencana”, namun yang terjadi adalah kekagetan tentang rendahnya pengetahuan geografi generasi bangsa ini akan negaranya sendiri. Bagaimana mungkin para peserta yang notabene adalah mahasiswa tidak mengenal Sorong, Timika, Bima, Batusangkar, Halaban dan berbagai lokasi kemungkinan mereka diterjunkan dalam keadaan tanggap bencana.

Ketika saya tawarkan kepada siapa yang tahu dimana letak Bima, Ende, Rote, Solok di peta akan saya berikan nilai sebagai peserta pelatihan terbaik, benar-benar kacau, tak ada seorang pun yang tahu.

Mereka tidak mengenal tanah airnya sendiri. Ada yang mengaku berasal dari Jawa Barat tapi tidak tahu dimana Pamengpeuk. Ada yang kelahiran Palembang tapi menyatakan Ibu kota Jambi adalah Kuala Tungkal. Disuruh menunjukkan di peta dimana Pontianak mereka menunjuk Sulawesi bagian Selatan padahal merupakan pengetahuan umum kalau Tugu khatulistiwa ada di Pontianak. Ada yang orang tuanya kelahiran Lampung tapi tidak pernah mendengar tentang Pelabuhan Panjang dan tidak tahu dimana letaknya di peta, ketika saya katakan Pelabuhan Panjang letaknya berada dekat Selat Sunda dia meletakkan jarinya di Pelabuhan Ratu. Mereka tidak lancar menyebut 10 propinsi di Indonesia beserta ibu kotanya, rata-rata hanya sanggup menjawab 5 propinsi beserta ibu kotanya dengan benar. Ketika saya tanya apa nama ibu kota propinsi Kalimantan Timur ada yang menyebut Sampit.

Tidakkah mereka merasa sempit hanya berwawasan Jabotabek? Itu pun hanya tempat rekreasi saja, kalau di tanya dimana perpustakaan nasional belum tentu bisa jawab. Kalau ditanya ke arah mana Mall Taman Anggrek sudah pasti lancar menjawab atau kalau ditanya kemana arah Mall Artha Gading, Puri Indah, Senayan City tutup mata pun bisa menunjukkan. Tapi ini kisah nyata, ada satu kenalan penulis yang keterlaluan, dia tinggal di Jakarta Utara, lahir di Jakarta, besar di Jakarta, bersekolah dari pendidikan dasar sampai universitas di Jakarta, kerja di Jakarta tapi tidak tahu Pondok Kelapa ke arah mana. Dia hanya mengetahui rumah-sekolah, rumah-kampus, rumah-tempat kerja atau rumah-Mall tertentu. Dia mengetahui daerah yang dimaksud setelah saya jelaskan panjang lebar dan ujung-ujungnya dia memilih masuk tol dalam kota.

Ini merupakan pelumpuhan sempurna atas suatu bangsa. Jangankan bicara tentang pengembangan ekonomi suatu daerah, mereka bahkan tidak tahu dimana daerah-daerah itu. Kalau disuruh membela bangsa jangan-jangan malah tidak tahu daerah mana saja yang termasuk negara mereka. Jangan beralasan negeri ini terlalu luas kawan, paling tidak ketahuilah propinsi beserta ibukotanya. Syukur-syukur bisa mengetahui historis dari daerah tersebut seperti misalnya Halaban pernah menjadi markas PDRI pada saat agresi militer Belanda ke II, Ende pernah menjadi tempat pembuangan salah satu pemimpin negeri kita pada jaman perjuangan. Kalau perlu nama tempat atau situs yang memakai nama seorang tokoh kita tahu siapa tokoh tersebut atau apa perbuatannya seperti Universitas Malahayati di Lampung diambil dari nama seorang Laksamana wanita pertama dan satu-satunya di dunia yang mempunyai pasukan dan teritori sendiri.

Saat ini bangsa-bangsa di dunia berebut lahan kekayaan alam yang bisa mereka eksplorasi, baik secara kegiatan kerjasama ataupun kalau perlu merampok dari negara yang bersangkutan baik secara tipu-tipu yang melibatkan oknum pejabat negara seperti yang mereka lakukan dengan Freeport atau dengan menggunakan kekuatan bersenjata seperti di Irak dan Afghanistan. Karena mereka tahu daerah itu ada dan daerah itu kaya.

Negara-negara lain yang memiliki kekayaan alam melimpah seperti Cina dan India mati-matian melindungi kekayaan alam mereka walau belum bisa mengolahnya sendiri tapi mereka sadar suatu saat nanti anak-cucu akan mampu mengolahnya. Berbeda dengan kita yang mengekspor kekayaan alam kita mentah-mentah dengan murah dan mengimpor hasil jadinya dengan harga yang ditentukan pasar tanpa mempedulikan generasi berikut tidak punya apa-apa lagi.

Semoga kita makin sadar dengan negeri kita sendiri jangan sampai seperti ketika lepasnya Sipadan-Ligitan kita malah bertanya-tanya “Memangnya ada ya pulau bernama itu? Di mana sih itu?”, itu karena selama ini kita cuek dengan negeri ini. Atau ketika peristiwa Ambalat sedang panas-panasnya ada warga Indonesia yang berdemo “Kami akan berangkat ke Ambalat walau berjalan kaki dan mempertahankannya sampai titik darah penghabisan”, tanpa mereka tahu bahwa Ambalat adalah laut.

0 komentar: