Dreams are renewable. No matter what our age or condition, there are still untapped possibilities within us and new beauty waiting to be born.

-Dale Turner-

Resensi Buku tentang Jugun Lanfu

Masih ingat film Memoirs of a Geisha beberapa tahun yang lalu? Film yang berkisah tentang kebudayaan Jepang itu sempat (akan) menuai protes sebab dianggap mengungkit-ungkit masalah wanita di kawasan jajahan Jepang yang "diperbudak" (sebab tidak punya istilah lain nih!) Jepang semasa Perang Dunia II. Well, memang setelah filmnya keluar tuduhan ini tiba-tiba lenyap tidak berbekas, tetapi di sini aku tidak akan membahas tentang filmnya (^_^).

Aku akan membahas tentang buku yang berkisah tentang para wanita yang diperbudak Jepang, para jugun ianfu, begitu mereka dipanggil. Buku ini adalah sebuah rekam jejak kehidupan seorang mantan jugun ianfu asal Indonesia bernama Mardiyem. Ia adalah satu dari sedikit mantan jugun ianfu di Asia yang berani mengungkap keperihan hidupnya, dan menuntut keadilan untuk dirinya dan teman-teman senasibnya.

Buku berjudul Momoye Mereka Memanggilku ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian awal merupakan bagian yang berkisah tentang usaha Mardiyem untuk mencari keadilan yang ditulis dari sudut pandang penulis. Bagian kedua mengisahkan tentang kehidupan Mardiyem. Sedangkan bagian ketiga berisi fakta-fakta sejarah mengenai jugun ianfu.


Mardiyem lahir di Yogyakarta pada tanggal 7 Februari 1929. Ketika besar ia menjadi pembantu rumah tangga di rumah seorang bangsawan bernama Ndoro Mangundisosro. Di rumah itu, cita-cita Mardiyem untuk menjadi seorang penyanyi tumbuh. Cita-cita ini mendekati kenyataan ketika ia bertemu seorang perempuan bernama Zus Lentji yang menawarinya untuk bergabung dengan grup sandiwara Pantja Soerja di Borneo (Kalimantan). Tanpa mengindahkan saran tetangga dan keluarganya, Mardiyem menerima ajakan Zus Lentji.

Ternyata di Borneo, Mardiyem tidak dijadikan pemain sandiwara seperti yang dijanjikan. Ia dan 23 perempuan lain yang datang dari Jawa dibawa ke kota Telawang. Di sana, mereka ditempatkan di sebuah bangunan besar yang disebut Asrama Telawang. Di tempat inilah mimpi buruk Mardiyem dan perempuan-perempuan lain dimulai. Begitu datang, mereka langsung dipaksa untuk melayani nafsu orang-orang Jepang. Di Telawang juga, Mardiyem dan yang lainnya diberikan nama Jepang. Nama Jepang Mardiyem adalah Momoye. Sejak saat itu, nama Mardiyem hilang di Telawang.

Kehidupan Mardiyem dan yang lain bukannya selalu menderita. Ada beberapa orang Jepang yang bersikap baik-baik kepada Mardiyem dan teman-temannya. Mereka ini biasanya adalah tamu-tamu tetap mereka. Tetapi, sisa kehidupan di Telawang adalah kehidupan yang tidak manusiawi. Para jugun ianfu ini dipaksa untuk melayani tamu setiap harinya, tanpa istirahat. Mereka juga sering mendapat siksaan saat melayani para tentara Jepang. Bahkan, jika ada di antara mereka yang sampai hamil, pimpinan Asrama Telawang akan menggugurkan secara paksa kandungan tersebut walaupun seringkali hal ini merusak rahim mereka.

Para pengurus Asrama juga tidak pernah menghargai dan berbelas kasihan kepada para jugun ianfu. Pada tahun 1943, ada lima orang teman Mardiyem yang dikirim kembali ke Yogyakarta tanpa uang saku. Kelima orang ini dipulangkan karena empat orang rahimnya sudah rusak dan satu orang lagi buta tidak bisa disembuhkan. Selain itu, ketika satu orang teman Mardiyem yang bernama Giyah meninggal, mayatnya dibiarkan saja membusuk di pinggir pasar seperti mayat para romusha.

Kehidupan Mardiyem mencapai babak baru saat Jepang kalah perang pada tahun 1945. Bersama seorang mantan anggota KNIL bernama Amat Mingun ia mencoba merintis hidup baru. Ia termasuk dari sedikit sekali jugun ianfu yang berhasil menemukan kehidupan baru. Tetapi, tetap saja pandangan masyarakat sangat sinis terhadap dirinya. Keputusan Mardiyem untuk mencari keadilan dimulai ketika Amat Mingun meninggal pada tahun 1991. Kematian Amat Mingun membuat Mardiyem berani bangkit untuk bersaksi dan berjuang mencari keadilan. Mardiyem segera mencari teman-teman senasib dan berjuang untuk mendapatkan pertanggungjawaban dari Jepang sampai saat ini.

Buku nonfiksi setebal 314 halaman yang memiliki panjang 17 cm dan lebar 11 cm ini ditulis oleh EkaHindra dan Koichi Kimura. Dengan bahasa yang lugas, mudah dimengerti, dan tepat pada sasaran, EkaHindra dan Koichi Kimura mampu mengajak pembaca untuk menyelami dan memahami kehidupan Mardiyem, kehidupan seorang jugun ianfu. Pembaca akan dapat menangkap semua makna dan pesan kehidupan yang terkandung dalam buku ini dengan sangat mudah.

Buku ini menjadi unik karena merupakan satu dari sedikit buku yang menceritakan sejarah kelam jugun ianfu dari sudut pandang para korban sendiri. Mardiyem sendiri merupakan sosok yang istimewa. Ia adalah mantan jugun ianfu pertama Indonesia yang berani menyuarakan kebenaran dan menghimpun rekan-rekan senasibnya untuk menuntut keadilan dan ganti rugi dari pihak Jepang.

Ditambah dengan fakta-fakta yang dicantumkan Koichi Kimura mengenai keterlibatan langsung pemerintah jepang dalam praktek jugun ianfu ini, buku ini menjadi sangat saya rekomendasikan untuk dibaca oleh para pencinta sejarah tanah air. tidak hanya karena sejarah yang dikandungnya tetapi juga karena buku ini menampilkan sisi lain dari kekejaman perang yang dialami bangsa kita.

0 komentar: